KabarViral - Wacana penghapusan pasal 156a KUHP mengemuka setelah
vonis terpidana kasus penodaan agama oleh Gubernur DKI Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok. Salah satu pengusul penghapusan pasal tersebut
adalah Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia Grace Natalie yang
menilai kasus Ahok sarat muatan politik.
Grace mengatakan vonis dua tahun penjara kepada Ahok atas kasus
penistaan agama merupakan sebuah preseden buruk. Dengan contoh kasus
tersebut, siapa pun bisa terkena oleh pasal karet itu akibat kepentingan
politik. “Kami menuntut pasal penodaan agama dihapuskan,” ujar Grace.
Dewan HAM PBB di Jenewa pun diminta untuk membahas penghapusan pasal
penodaan agama tersebut. “Ada permintaan supaya menghapus intoleransi
agama dan menghapus undang-undang seperti penodaan agama,” kata Hasan di
kantor Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Kamis, 18 Mei 2017.
Rekomendasi ini, kata Hasan, adalah salah satu dari 225 rekomendasi yang
diberikan kelompok kerja Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB.
Dalam kelompok kerja UPR itu, Indonesia membawa laporan setebal 20
halaman untuk melaporkan perkembangan HAM. Laporan tersebut, berisi
persoalan HAM yang salah satunya menyoroti kebebasan beragama.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly dan Menteri Luar Negeri Retno
L.P. Marsudi menjadi Ketua Delegasi dalam Pembahasan Laporan HAM
Indonesia untuk kelompok kerja UPR. Mekanisme UPR ini adalah forum kaji
ulang di antara 193 anggota PBB. Sebanyak 103 negara ikut UPR pada 3-5
Mei 2017.
Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi
menyebutkan beberapa rekomendasi yang dibawa ke Indonesia, seperti
rekomendasi penghapusan hukuman mati, penghapusan pasal penodaan agama,
dan orientasi seksual. Mualimin mengatakan bakal membahasnya dengan
sejumlah pihak. “Minggu depan kami panggil expert dan akan undang
lembaga terkait,” ujarnya.
Delegasi Indonesia menerima 150 rekomendasi secara langsung. Namun
sebanyak 75 rekomendasi masih akan dibahas pemerintah lantaran masih
menjadi hukum positif di Indonesia dan harus melibatkan legislatif.
Tanggapan Menag
Menaggapi hal itu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menilai
pasal-pasal penodaan agama tidak perlu dihapuskan. Sebab, pasal-pasal
tersebut menjadi dasar untuk penyelesaian persoalan penodaan agama
secara hukum.
“Kalau dihapus pasal-pasal penodaan agama tanpa ada penggantinya,
artinya kita tidak memiliki lagi alas hukum untuk menyelesaikan
persoalan penodaan dan penistaan agama secara hukum,” kata Lukman di
Gedung Stovia, Jakarta, Rabu 17 Mei 2017.
Ia berpendapat jika negara tidak memiliki dasar hukum penyelesaian
penodaan agama akan lebih berbahaya. Sebab, kata Lukman, sama saja
memberi ruang kepada masyarakat untuk menyelesaikan sendiri perkara
tersebut. “Main hakim sendiri itu jauh lebih berbahaya,” ujarnya.
Selain itu, jika pasal penodaan agama dihilangkan, Lukman berpendapat
hakim di pengadilan tidak lagi memiliki dasar hukum penyelesaian
perkara. “Nanti hakim mau pakai apa,” ujarnya. Kementerian Agama, kata
Lukman, kini tengah melakukan diskusi fokus bersama para ahli untuk
meninjau keberadaan pasal yang termaktub dalam Kitab Undang Hukum Pidana
ini. -kabrviral/panjimas (sumber : http://www.kabarviral.id)